Salam Kamis Menulis Sobat Lage💞
Ikut Kamis Menulis tema GURU sebelum diputer, he...he...he...😃
Salam takzim, Ibu
Hari ini hari yang bahagia. Hari menjelang Hari Guru. Selamat hari Guru untuk
Ibu. Dariku, salah satu siswa Ibu, yang barangkali sudah berada diurutan
terbawah memori ingatan Ibu, atau bahkan sudah terhapus. Aku tidak bersedih akan hal ini. Malahan rasa
cintaku akan kenangan kepada Ibu semakin dalam. Karena seperti diriku juga,
seringkali memori kita tidak bisa menyimpan begitu banyak peristiwa bukan?.
Masih ingatkah Ibu pada siswa ibu ini. Salah satu
siswa diantara ratusan bahkan mungkin ribuan siswa dan siswi ibu. Siswa yang
tenggelam dalam keriuhan siswa-siswi lain. Tenggelam karena tubuhku yang kecil,
tenggelam karena sifat pendiam dan ketidak percayaan diri. Siswa yang
seharusnya belum boleh duduk di kelas satu sekolah dasar karena belum waktunya.
Seharusnya aku duduk di Taman
Kanak-kanak. Tetapi, karena di Taman-Kanak-kanak sering dibully oleh siswa lelaki sampai menangis, aku tidak mau ke sekolah
lagi. Akhirnya ibuku yang setiap hari
harus bekerja ke sawah tidak bisa menjaga dan mengawasi mengambil keputusan
untuk meminta kakak yang sudah kelas lima SD untuk memasukkanku ke Sekolah Dasar. Kuingat momen ketika Ibu
Guru meminta untuk meraih telinga melalui atas kepala dengan tanganku. Aku
berusaha menggapai telinga dengan ujung jari tangan kurus kecilku melalui atas
kepala. Tentu saja aku tidak dapat menggapainya. Aku takut sekali, dan berusaha
menggapai telingaku tetapi tetap tidak mampu. Ibu Guru tersenyum. Tidak terlihat kecewa atau
marah. Senyum yang memberi pengharapan. “Kamu boleh bersekolah. Sekolah Duduk”’
kata Ibu ketika itu.
“Sekolah Duduk” adalah istilah untuk siswa yang boleh
sekolah tetapi belum diperhitungkan sebagai siswa resmi. Biasanya juga belum
diberikan penilaian/raport pada setiap caturwulan. Usiaku belum enam tahun saat
itu. Untung saja masa itu proses penerimaan siswa baru belum seperti sekarang.
Belum ada persyaratan harus ada kartu keluarga, Akte Kelahiran, atau ijazah TK.
Apalagi penerimaan siswa baru secara online, dimimpikanpun tidak. Orang
tua/wali calon siswa baru cukup ditanya
berapa umur anaknya, namanya, nama orang tua, tanggal, bulan dan tahun
lahir. Jika orang tua/wali lupa tanggal,
bulan dan tahun lahir anaknya, malahan
dibuatkan oleh sekolah. Calon siswa akan diminta menggapa telinganya melewati
atas kepala dengan jari tangannya, jika sudah mampu siswa akan diterima.
Kata “Sekolah
Duduk” itu tidak kuingat lagi. Aku bersekolah setiap hari dibonceng sepeda oleh
kakak perempuanku. Sekolah dan belajar dengan senang hati. Belajar membaca,
menulis dan berhitung. Memang ada beberapa kesulitan awal belajar menulis. Ada
beberapa huruf yang kurasa sangat susah membuatnya. Menurutku yang paling susah
adalah membuat huruf “S”. Sepertinya aku phobia huruf “S”. Ketika dalam satu
kata atau kalimat ada huruf “S”. aku akan stop menulis di situ. Rasa tidak
percaya diri muncul begitu saja karena tidak mampu membuat huruf itu seperti punya
orang lain. Sering aku bersembunyi di
bawah meja dan diam beberapa waktu di situ. Ibu Gurulah yang datang membujuk
dan membantu menuliskannya. Dengan tuntunan dan dorongan semangat dari Ibu Guru aku bisa membaca, menulis
berhitung seperti teman lain di kelasku. Ketika sampai waktu pembagian
rapor, predikat siswa “Sekolah Duduk”
tidak lagi melekat padaku. Aku sudah menjadi siswa resmi yang mendapatkan
rapor. Begitupun tahun-tahun berikutnya prestasiku di Sekolah Dasar cukup
memadai. Belum pernah keluar dari peringkat lima besar.
Kenangan akan sikap Ibu kepadaku seperti rasa
cinta yang mendalam, tidak mudah terhapus. Bagaimana gaya Ibu mengajariku.
Sabarnya Ibu dalam menghadapi siswa siswi Ibu. Sulit sekali aku mengingat
apakah Ibu pernah memarahiku, bagaimana Ibu memarahiku, atau kapan Ibu
memarahiku. Apakah ini tertutup oleh rasa cinta?. Karena rasa cinta sehingga
semua kekurangan tidak terlihat dan tidak dirasa?. Rasa cinta itulah yang tanpa
disadari memberi motivasi padaku untuk
menjadi guru. Sebelumnya aku tidak mengerti apa itu cita-cita. Ketika
ditanyakan apa cita-citaku, tidak dapat kujawab. Ibu Gurulah yang memberi
inspirasi mengapa aku memilih profesi ini. “Nanti kalau jadi guru aku akan
begini-begini”, terpikir dalam benakku. Terbayang sosok Ibu sebagai guru
Sekolah Dasarku. Bagiku Ibu adalah guru yang ideal. Guru yang mampu
menyelami hati peserta didiknya, guru yang
menjadi pengganti orang tua ketika di sekolah, guru yang tidak pernah kehabisan
cara untuk membagi ilmunya. Guru yang mampu membuat siswa yang semula murung,
sedih, tidak percaya diri, menjadi ceria dan mampu mencapai keinginannya.
Kini, waktu telah berlalu tanpa terasa. Sudah lebih
tiga puluh tahun kujalani menjadi Guru Sekolah Dasar. Tugas guru mengajar di SD
apalagi di kelas awal sangatlah berat. Guru harus bisa memberikan pelajaran
kepada anak didiknya dari yang awalnya tidak bisa membaca dan menulis sampai
anak didiknya bisa membaca dan menulis. Terkadang tidak semua anak didik dapat
menerima pelajaran yang diberikan. Kemampuan anak didik juga berbeda-beda. Ada
anak didik yang cepat tanggap dan mengerti, ada juga yang lambat. Tugas seorang
guru mengajar dan mendidik membutuhkan kesabaran yang tinggi.
Entahlah. Aku tidak tahu apakah aku sudah menjadi
guru yang baik dan sabar seperti Ibu. Walau begitu aku selalu berusaha dan
terus berusaha. Semoga yang terpateri dalam ingatan siswa-siswiku adalah
kenangan yang indah. Seperti kenanganku kepada Ibu.
Sekian dariku. Do’a Ibu sangat kuharapkan.
Salam hormatku untuk Ibu